Senin, 09 Mei 2022

E-VOTING DAN DEMOKRASI MODERN

 

Muhammad Ali pernah berkata “The man who has no imagination, has no wings”, hal ini menggambarkan bahwa selayaknya kita senantiasa memiliki mimpi dan abstraksi. Pesan sang petinju legendaris ini mungkin mengilhami Menkominfo, Johnny G.Plate (22/03/2022) yang mengusulkan pemilu 2024 dengan sistem e-voting. Namun sejatinya, usulan politisi partai Nasdem itu bukanlah  hal yang baru dibicarakan di Indonesia.

 

Jauh sebelum itu, Pemerintah Daerah Jembrana telah melakukan e-voting Pilkades pada tahun 2009. Semenjak itu, ratusan pilkades telah melaksanakan demokrasi berbasis elektronik, bahkan dibantu langsung oleh BPPT. Bukan sekedar trial and error, sesungguhnya Permendagri 72 tahun 2020 adalah payung hukum yang mampu menyesuaikan perkembangan demokrasi dengan kemajuan teknologi. Sehingga berbagai desa saat ini telah mampu untuk melaksanakan e-voting. Dengan demikian, bukanlah suatu hal yang mustahil apabila dimasa depan Pileg, Pilpres dan Pilkada juga bisa dilakukan dengan cara e-voting.

 

Secara umum e-voting dapat diartikan sebagai penggunaan hak suara dalam pemilu yang didukung oleh alat elektronik. Ragam dari alat elektronik mencakup pendaftaran suara elektronik, penghitungan suara secara elektronik dan belakangan termasuk aplikasi situs untuk memilih jarak jauh, khususnya internet voting (Kersting dan Baldersheim: 2004). Mengutip data International Institute for Democracy dan Electoral Assistance, pemungutan suara secara elektronik telah digunakan di 34 negara di dunia yang dilakukan dalam berbagai bentuk dan tingkatan.

 

Hal yang telah lama disampaikan oleh pemerhati pemilu ini mungkin perlu direnungkan oleh masyarakat, pasca era pandemi covid-19 ini. Semua tatanan kehidupan masyarakat bergeser sangat cepat dan teknologi internet mampu menjadi solusi. Sebut saja belanja, belajar dan pelayanan publik telah banyak menggunakan fasilitas dalam jaringan (online). Jadi bila saat ini kita melakukan e-voting, mengapa tidak.

 

Pastinya yang menjadi kelebihan dalam penerapan e-voting adalah efisiensi anggaran. Secara filosofis, penyelenggaraan sebuah pemilu semestinya mengikuti prinsip efisiensi (Allan Wall:2006). Maka hingga saat ini, efisiensi adalah bagian dari azas penyelenggaraan pemilu. Ironisnya anggaran pemilu dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan. Tahun 2019 yang lalu, KPU menghabiskan anggaran 24 triliyun rupiah. Sementara untuk pemilu 2024, KPU merencanakan anggaran sekitar 60 triliun rupiah.

 

Angka itu justru bertolak belakang dengan prinsip efisiensi dalam pemilu. Padahal kita mengetahui bahwa dunia saat ini telah bergeser ke era digital. Prof.Rhenald Kasali menyebutkan bahwa biaya produksi untuk menghasilkan robot, software dan aplikasi turun sebesar 65%. Sedangkan, biaya tenaga kerja diseluruh dunia mengalami peningkatan 2-15% setiap tahunnya. Hal ini praktis membuat biaya pemilu tidak hanya bengkak dari sisi logistik tapi pelaksana teknis dilapangan, seperti PTPS dan KPPS, juga menjadi pengeluaran yang sangat besar.

 

Kita juga digemparkan dengan begitu banyaknya petugas TPS tersebut, meregang nyawa karena beban kerja yang tinggi. Begitu banyaknya formulir yang harus disalin dan jenis surat suara yang dihitung di TPS, terkadang lebih dari 24 jam. Pemilu 2019 saja misalnya, total ada 894 petugas yang meninggal dunia dan 5.175 petugas mengalami sakit (Arief Budiman:2020). Maka, dari kacamata ini dapat kita lihat bahwa e-voting adalah jawaban agar pesta demokrasi tidak berubah menjadi bencana demokrasi.

 

Efisiensi terhadap waktu juga menjadi pertimbangan. Berdasarkan pengalaman Estonia dalam melaksanakan e-voting, mampu mempercepat pemilih untuk mengetahui hasil pemilu. Sebab, jika dipagi hari diproses maka malam hari sudah diketahui hasilnya. Jadi pemilih tidak perlu lagi menunggu rapat-rapat rekapitulasi yang memakan waktu berhari-hari. Belajar dengan Estonia adalah solusi yang baik dalam mengaplikasi e-voting berbasis internet.

 

Terkait akurasi dan kecepatan sangat dibutuhkan dalam demokrasi modern di era digital. Dengan semakin mutakhirnya perkembangan ilmu komputerisasi yang mengenal sistem enskripsi dan blockchain adalah jawabannya. Kemudian, Selama didukung oleh DPT yang berbasis Sistem Administrasi Kependudukan (SIAK). Tinggal lagi bagaimana kita mampu menyimpan big data penduduk yang semula berada pada internal storage ke model cloud storage. Sehingga data terdesentralisasi dan terintegrasi antara KPU dan Dirjen Dukcapil.

 

Namun sistem ini masih ada beberapa kelemahan. Jika petugas pemilu tidak memiliki kemampuan yang memadai perihal e-voting. Sangat mengkhawatirkan apabila terjadi kegagalan maka akan mengurangi legitimasi terhadap pemilu. Lalu bagi sejumlah kelompok pemilih, seperti pemilih berusia lanjut, e-voting lebih tidak disukai. Hasil riset (Roseman:2005) menunjukan dalam Pilkada di Georgia-Amerika Serikat, yang menggunakan e-voting tidak disukai oleh pemilih yang berusia tua (diatas 65 tahun). Belum lagi kita harus mempertimbang prinsip aksesibilitas bagi pemilih dengan kategori disabilitas.

 

Maka tidak heran, Negara seperti Belanda dan Jerman yang juga pernah melakukan e-voting memilih kembali kepada sistem yang manual. Terlebih temuan Bawaslu pada 2019 menyebutkan bahwa 12 ribu TPS belum terakses dengan intenet dan bahkan lebih dari 4 ribu TPS belum dialiri oleh listrik. Masalah lain yang mengemuka adalah bagaimana nantinya melakukan pembuktian hukum dalam sengketa perselisihan hasil suara di Mahkamah Konstitusi. Apabila terjadi error dalam proses pemilihan, bagaimana teknis auditnya. Sementara situng yang dimiliki oleh KPU juga memiliki banyak kendala, bahkan rentan untuk diretas.

 

Pertanyaannya kemudian, apakah mungkin Pemilu menggunakan e-voting? Dimasa yang akan datang bukan tidak mungkin dapat diwujudkan. Untuk memanifestasikannya, terdapat beberapa faktor pendukung. Pertama adalah asas legal formal, mau tidak mau UU Pemilu, ITE dan Adminduk harus direvisi. Kedua, Infrastruktur jaringan internet dan jaringan listrik wajib untuk mampu masuk hingga keseluruh pelosok Indonesia.

 

Namun infrastruktur yang paling utama adalah masalah DPT dan SIAK. Sebaiknya data e-KTP masyarakat mampu terdigitalisasi sesuai dengan perkembangan era teknologi 4.0 berbasis cloud computing. Kemudian, dibuat smart contract yang dibuat berbasis blockchain, sehingga data e-KTP mendapatkan hak paten (copyright), untuk selanjutnya menjadi jaminan hukum dan perlindungan dari Negara.

 

Oleh karena itu, sebelum nantinya prasyarat legal formal direvisi dan pembangunan infrastruktur digital ini dikebut. Sosialisasi yang gencar mengenai e-voting mutlak harus dilakukan. Ini adalah pekerjaan besar bagi kita, menuju demokrasi Indonesia yang semakin modern.

Sabtu, 02 April 2022

PILKADA SERENTAK, ANCAMAN GEOPOLITIK

 

Pemilihan Umum Tahun 2024 sebaiknya ditunda, sepertinya banyak mendapatkan pertentangan dari masyarakat, terutama akademisi. Berkaca dari Pemilu 2019 yang dapat dibilang sukses dalam penyelenggaraan, praktis hal yang sama tidak menjadi hambatan untuk melaksanakan hal yang sama di tahun 2024. Lalu, bagaimana Pilkada Serentak 2024 yang pertama kali dilaksanakan setiap daerah Indonesia?

 

Perlu diketahui bahwa saat ini, penyelenggara pemilu mengajukan Rancangan Anggaran Pilkada kepada masing-masing Pemerintah Daerah. Sehingga secara matematika anggaran bisa dipersiapkan dari saat ini. Hal yang luput kita perhitungkan adalah bagaimana keamanan Negara pasca Pilkada. Hal ini menjadi penting untuk disimak, karena pada prinsipnya Pilkada adalah barometer konflik politik yang terkonsentrasi di daerah. Potensi ini akan kita lihat dari perspektif geo-politik.

 

Konflik yang terjadi di Laut Cina Selatan (LCS) adalah indikator pertama, dimana ketegangan ini muncul atas klaim Pemerintah Tiongkok tentang kepemilikan wilayah tersebut. Hampir seluruh anggota ASEAN yang terlibat langsung dalam ketegangan ini, ditambah dengan Jepang, Taiwan dan Korea Selatan. Indikator yang kedua adalah AUKUS. Pakta keamanan yang ditandatangani oleh Amerika Serikat, Inggris dan Australia menjadi ancaman bagi Tiongkok. Dimana ketiga Negara tersebut memiliki armada perang laut yang mutakhir yakni Kapal Selam bertenaga Nuklir.  Disisi lain, Prancis sangat dirugikan dengan sikap Australia yang membatalkan pembelian Alutsista dari Negara pemilik menara Eifel tersebut.

 

Dua indikator diatas sudah cukup menggambarkan, bagaimana posisi geografis Indonesia ditengah pusaran konflik. Ditambah lagi saat ini perang antara Rusia dan Ukraina masih berlanjut, maka bisa saja konflik ini makin melebar. Sementara itu, politik luar negeri Indonesia bermain bagaikan anak gadis yang gombal. Pemerintahan Jokowi, sangat telaten dalam memposisikan diri, tidak ikut serta untuk aktif dalam mendamaikan keadaan tersebut dan tidak pula lengah dengan segala keadaan. Hal ini dibuktikan dengan bertambahnya jumlah Alutsista pada Tahun Anggaran 2022 ini.

 

Segala kepungan pakta keamanan dan ketegangan yang terjadi di dunia hari ini, wajib disikapi dengan kesiagaan. Sulit kiranya saat ini Indonesia akan digempur oleh Negara-negara yang ada, karena kepentingan yang sangat besar di kawasan ini. Terlebih dengan jumlah populasi yang besar dan sejarah panjang perlawanan gerilya rakyat semesta, maka akan sia-sialah rasanya untuk menaklukan Indonesia dengan aksi-aksi Militer. Oleh karena itu, untuk menaklukan Negara ini, sebaiknya dilakukan dengan metode Politik pecah belah, politik adu domba, atau divide et impera yang bernama Pilkada Serentak Tahun 2024.

 

Prinsipnya, Pilkada sama dengan Pemilu. Dimana kita bisa membelah-belah potensi lumbung suara masyarakat berdasarkan sentimen sosiologis, namun dengan skala kedaerahan yang ada. Dalam kacamata marketing politik itu adalah hal yang jumrah; kajian segmentasi, targeting dan positioning akan menjadi wajar dilakukan oleh Pasangan Calon. Pembelahan itu dirasa aman bilamana terjadi hanya pada tingkatan elit. Masalahnya akan lebih tajam bila pembelahan ini justru terjadi di Masyarakat. Karena konsentrasi Pilkada ada di tiap-tiap daerah, maka potensi konflik juga akan tersebar. Pada poin inilah TNI/POLRI wajib untuk berperan aktif dalam menjaga keamanan dan kondusifitas.

 

Maka, teknis pengamanan dari TNI/POLRI haruslah didudukkan berbarengan dengan penyelenggara pemilu, yang saat ini sedang mengajukan Rancangan Anggaran Pilkada kepada masing-masing Pemerintah Daerah. Karena jumlah personil pengamanan yang terbatas dan tidak merata jumlahnya di tiap-tiap daerah, tentu akan menyulitkan. Indonesia yang sangat luas, pastinya akan sulit melakukan distribusi personil TNI/POLRI dalam pengamanan Pilkada. Jenderal-jenderal yang ada dipusat, wajib melakukan penyaringan dengan seksama daerah-daerah mana saja yang membutuhkan personil. Disamping itu, intelejen harus dengan seksama melakukan preventif, setiap gerakan-gerakan yang berpotensi menimbulkan konflik.

 

Bila dalam Pilpres kita bisa melihat bagaimana tekanan muncul di pusat. DKI Jakarta menjadi barometer dan seluruh kekuatan keamanan di daerah dikerahkan untuk mengamankan. Hal ini terjadi pada tahun 2019 yang lalu dimana aparat keamanan menjaga penuh di pusat. Namun dalam Pilkada justru akan berbeda, misalnya terjadi kerawanan di Aceh dan Papua saja praktis kekuatan TNI/POLRI akan terbelah menjadi dua dengan jarak yang jauh. Belum lagi apabila daerah-daerah lainnya juga bergejolak.

 

Hal-hal demikian, praktis tidak dimiliki oleh KPU dan Bawaslu. Oleh karena itu, wajar rasanya apabila Pilkada serentak ini justru akan lebih menguras keringat para pihak yang berkepentingan dalam menjaga keamanan, pertahanan dan ketertiban. Jangan sampai, kita terlalu berkonsentrasi dengan Pilkada dengan daerah yang populer, namun lengah dengan daerah yang justru memiliki tingkat kerawanan yang paling tinggi.

 

Dapat kita lihat pada Pilkada serentak tahun 2017, semua mata justru hanya terpaku pada Pemilihan di DKI Jakarta, yang membuat seolah-olah tidak ada Pilkada di daerah lain. Sehingga nantinya kita lengah dengan apa yang  terjadi daerah. Ditambah lagi dengan begitu tajamnya Pilkada yang mengedepankan Politik Identitas di masyarakat. Maka potensi kekisruhan berbasis SARA justru akan gampang menjadi penyulut. Disisi lain, belum cakapnya masyarakat dalam menerima sumber informasi yang di dapat, akan mempetajakam potensi kekisruhan berbasis SARA. Maka, Dinas Kominfo Daerah sebaiknya responsif terhadap pemberantasan berita palsu (hoax) dan tidak membebankan seluruhnya kepada KPU/Bawaslu di Daerah.

 

Bila kita melihat Pilkada serentak yang telah dilakukan sejak 2015 yang lalu, banyak temuan pelanggaran yang ditangani oleh Bawaslu perihal Netralitas ASN. Fritz Edward Siregar (2020) pernah menyebutkan bahwa konsekuensi dari pelaksanaan pilkada adalah munculnya gesekan dan menjadi imbas praktik politik praktis yaitu berupa penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan dari oknum pejabat setempat. Hal ini juga berpotensi besar dalam memunculkan konflik di masyarakat, antara kebijakan pejabat setempat dengan prinsip penegakkan hukum dan keadilan pemilu

 

Dilihat dari sisi geografis dan terkonsentrasinya konflik dalam Pilkada. Ditambah dengan keterbatasan personil TNI/POLRI dan segmentasi SARA dalam masyarakat yang beragam. Belum lagi profesionalitas ASN yang diragukan dan masih belum cerdasnya masyarakat di daerah dalam menerima berita dan informasi. Maka dari itu, dilihat dari berbagai sudut pandang geopolitik sebagai variabel utama tadi, bersiap-siagalah bahwa Pilkada serentak adalah bom waktu yang siap meledak.

Minggu, 31 Maret 2013

Jury Team Announces Six Winners as Winner of Research Grant

Oleh PGSP   
Jumat, 15 Februari 2013 08:54
JAKARTA, PGSP.- After a tough process, the jury team agreed to decide that six researchers are qualified as the winner of a research grant in the field of decentralization and regional autonomy. The research grant program was organized by the University of Atma Jaya and is fully supported by the Provincial Governance Strengthening Programme-United Nations Development Programme (UNDP-PGSP). The six researchers are successfully selected from 129 research proposals were received by the committee.
The six winners of the the research grant are; Dicky Andrika from Andalas (S1); Abdullah Sanusi from Hasanuddin University (S3); Diah Setyorini from University Jenderal Sudirman (young researcher); Riski Raisa Putra as a Junior Expert Staff, First Deputy Coordinating Ministry for Economic Affairs (young researcher); Rumayya Batubara from Airlangga University, and Aryos Nivada  from Almuslim University, Bireuen (young researcher). "There are many interesting research topics, but in general the weakness of the proposal is mostly on its methodology that is going to be used by the researcher," said Chairman of the Jury Team, Siti Saadah, when met at the Atma Jaya University, Jakarta, Thursday (14/2).
Among the winners, there is no one from S2 category who qualify to get the grant although the committee was originally set quotas for the 11 winners, consists of three S1, each two to S2 and S3, and four young researchers. Siti said it deeply regrets this happened. However, the jury must be consistent with the criteria and qualifications agreed.
According to Aldi, the chairman of the organizing committee from Atma Jaya University, the committee received 143 proposals. However, they only processing 129 proposals since the other 14 proposals were received behind the schedule. Next, the six researchers will work doing research until the end of March under supervision by a team of juries and mentors at the university or institution where they work.
Amount of grant is vary depend on its category; 1000 USD for undergraduate level; 2500 USD for postgraduate level; 3500 USD for S3; and 2500 USD for young researcher. The grant will be given in several termins during the research process.
The Research Team Leader from PGSP-UNDP, Harry Seldadyo said that he was satisfied with the enthusiasm and interest of the research in the field of decentralization and local autonomy. "We are satisfied with the enthusiasm and this is far beyond our expectations. We initially estimated the number of proposals at most only 30, but it was more than that," he said.
Research Title
Below are the researcher’s name and their research proposal;
  1. Aryos Nivada from Almuslim University, Aceh (young researcher); “The Mapping of Political Marketing Between National and Local Political Parties during the general election 2014 in Aceh Province”.
  2. Abdullah Sanusi from Hasanuddin University (S3);  “Local Politics and Business; Analysis of Non-Market Strategies Implemented by Firms in South Sulawesi, Indonesia”.
  3. Dicky Andrika from Andalas University (undergraduate); “The Power of Unsure Political Association in ‘Nagari Governance’ Regent Tanah Datar (A Study in Nagari Koto Tengah, District Tanjung Emas).”
  4. Diah Setyorini G., SE,Msi from Jenderal Soedirman University (young researcher) ; “Economic Development Strategy to Increase Investment at Yogyakarta Province.”
  5. Riski Raisa Putra as junior expert staff at Economic Coordination Ministry (young researcher); “The Effect of Fiscal Decentralisation and Regional Specific Factor Toward The Inequality Between Cities/Regencies in Indonesia.”
  6. Rumayya Batubara from Airlangga University (young researcher); “Decentralization and Local Governance Quality in Indonesia”. 

Sabtu, 29 Desember 2012

G30S/? 1965



Walaupun sudah ada berbagai macam buku mengenai kejadian dan karakter dari upaya kudeta 1 Oktober 1965 di Indonesia telah dipublikasikan, tetapi banyak aspek penting dari peristiwa itu masih sangat kabur. Terlebih selama 32 tahun, peristiwa 1 Oktober 1965 (lebih dikenal dengan ‘Gerakan 30 September’) oleh Orde Baru, telah disajikan kepada masyarakat secara berat sebelah, dengan pemaparan fakta yang selektif dan dirangkaikan sedemikian rupa untuk membenarkan dasar lahirnya Orde Baru. Dan oleh karena monopoli alat serta penerangan praktis sepenuhnya dikuasai negara, satu generasi telah dibesarkan dengan cara indoktrinasi ala P4, yang justru sekarang ini tampaknya ternyata counter produktif. Tidak mengherankan, kalau sekarang ini banyak mahasiswa dan kaum muda cenderung secara a-priori menolak setiap keterangan atau interpretasi sejarah yang bukan buatan Orde Soeharto.
Revolusi Belum Selesai: Prolog Gestapu
              Menjelang 1965, ketegangan dan konflik mewarnai iklim sosial dan politik di Indonesia. Setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda pada 1949, Indonesia menjalankan pemerintahan liberal antara 1950-1959. Eksperimen ini dianggap gagal oleh Soekarno, maupun oleh tentara. Ukurannya, tak satu pun partai mampu memerintah cukup lama tanpa dijatuhkan partai lain. Salah satu penyebabnya, tidak ada partai mayoritas di Parlemen. 4 partai besar: PNI (Partai Nasional Indonesia), Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), NU (Nahdlatul Ulama), dan PKI (Partai Komunis Indonesia) memiliki kursi yang hampir sama di Parlemen.
              Dengan persepsi itu, Soekarno, didukung oleh tentara, mengumumkan sistem pemerintahan baru yang disebut Demokrasi Terpimpin pada 1959[i]. Berpusat pada Seokarno, sistem ini berlandaskan pada dua pilar kekuasaan politik yaitu Angkatan Darat (AD) dan PKI. Dalam sistem ini, Soekarno harus selalu menjaga keseimbangan kekuasaan kedua pilar tersebut[ii]. Sebagai kelompok professional, militer tidak memiliki kontrol secara langsung terhadap PKI. Sebaliknya, PKI, melalui strategi yang dikenal dengan Kerja di Kalangan Musuh (KKM), menyusup ke hampir semua sector politik yang strategis, termasuk ABRI.

  1. a.       Demokrasi Terpimpin
              Di bawah Demokrasi Terpimpin, Soekarno membawa Indonesia ke kiri[iii]. Di dalam negeri, ia menerapkan kebijakan Nasakomisasi untuk melebur 3 kelompok sosial politik yang dianggap sebagai akar-akar seluruh kekuatan politik. 3 kelompok tersebut adalah Nas-ionalis, A-gama, Kom-unis. Soekarno memimpikan ketiga kelompok ini bersatu untuk menjadi kekuatan progresif revolusioner demi memajukan Indonesia raya. Pada waktu itu Nasakom ditafsirkan secara luas, mulai dari persepsi bahwa Nasakom merupakan campuran ketiga sifat yang harus menjadi kepribadian setiap orang, hingga pandangan bahwa Nasakom merupakan pemilahan secara formal atas 3 parpol yang membawa masing-masing sifat. Di atas kertas, konsep Nasakom berjalan baik. Tetapi di dalam praktik, Nasakom menghasilkan situasi yang kacau.
              Di dunia Internasional, Soekarno mengarahkan Indonesia untuk mengejar posisi sebagai pemimpin dunia baru yang berbeda dari Blok Barat dan Blok Komunis[iv]. Tetapi, dalam kenyataan, Indonesia cenderung ke Blok Komunis, lebih tepatnya ke Republik Rakyat Cina (RRC), setelah terjadi perpecahan ideologis antara Uni Soviet dan RRC. Mengikuti kecenderungan ini, Indonesia berjuang menentang kekuatan Nekolim (Neo-Kolonialisme dan Imperialisme) yang ‘rakus’. 2 tugas, dari beberapa tugas yang diemban oleh Indonesia adalah membebaskan Irian Barat[v] dari kekuasaan Belanda serta menghancurkan Malaysia, yang dinilai sebagai negara boneka buatan Inggris. Untuk melaksanankan tugas yang disebut terakhir, Soekarno melancarkan Politik Konfrontasi, sejalan dengan perjuangan militer dan diplomatic untuk membebaskan Irian Barat. Secara umum, kebijakan luar negeri Indonesia ditetapkan untuk melakukan manuver di antara para pemain besar, yaitu Amerika Serikat, Uni Soviet, dan RRC[vi].

  1. b.      Situasi Ekonomi
              Sekalipun Indonesia pada paruh pertama 1960-an memiliki posisi sebagai pemimpin dunia baru, ekonomi Indonesia merosot dengan cepat. Selama 8 tahun di bawah Demokrasi Terpimpin, rata-rata inflasi melonjak dari 2 digit menjadi 3 digit, bahkan mencapai 650% pada 1965. Terjadi peningkatan deficit anggaran pemerintah, yang tercatat Rp 23 juta pada 1961 dan meningkat menjadi Rp. 1.500 juta pada 1966. Utang luar negeri sebelum meletusnya Peristiwa Gestapu sebesar $ 270 juta; sebagian besar digunakan untuk membangun proyek-proyek raksasa simbolis, seperti patung-patung, monument, dan simbol-simbol politik lain. Cicilan utang dan bunga yang harus dibayar pada 1966 sebesar $ 640 juta, sementara pendapatan nasional hanya $ 400 juta. Ekonomi biaya tinggi akibat inefisiensi dan korupsi di birokrasi banyak berperan terhadap mundurnya perekonomian[vii].
              Kondisi begitu buruk sehingga kabinet Soekarno gagal menyembuhkan dengan kebijakan ekonomi macam apapun. Mahasiswa dan kaum intelektual adalah golongan yang secara khusus prihatin terhadap memburuknya situasi ekonomi. Keprihatinan yang sama juga datang dari kalangan militer, khususnya para perwira AD yang mengeyam pendidikan Barat. Mereka mengundang beberapa professor ekonomi, terutama para alumni University of California-Berkeley, untuk memberikan kuliah di SESKOAD (Sekolah Staf Komando Angkatan Darat) di Bandung. Di antara mereka adalah Emil Salim, Mohammad Sadli, dan Widjojo Nitisastro; di kemudian hari, pada periode pasca-Gestapu, ketiganya ikut merancang blueprint sistem ekonomi yang baru[viii].

  1. c.       Angkatan Bersenjata
              Sebagai lembaga militer pascakolonial, yang tersusun dari berbagai kelompok masyarakat, ABRI pada 1964-1965 merupakan lembaga yang terpecah[ix]. Persaingan di antara ketiga angkatan, bahkan dengan kepolisian (yang saat itu juga berada di bawah struktur Angkatan Bersenjata), bersifat eksplosif. Presiden Seokarno, sebagai Panglima Tertinggi, mengatur Angkatan Bersenjata lebih secara politis ketimbang administratif professional.
              Sejak 1963, Angkatan Bersenjata tidak mampu membayar utang-utangnya. Akibatnya, mereka sulit memperoleh dan merawat alat-alat perang. Suku cadang untuk pesawat tempur, radar, kapal, dan sistem persenjataan lainnya tidak tersedia, sehingga banyak persenjataan modern kala itu tidak layak dioperasikan[x].
              Secara politis, Angkata Udara (AU) dekat dengan PKI, Angkatan Lau (AL) dan Korps Komando Operasi (KKO)-nya lebih dekat dengan PNI dan Soekarno. Kepolisian terpecah, sebagaian lebih cenderung memilih partai-partai nasionalis dan sebagian lagi dekat dengan partai-partai kiri. Sedangkan para perwira AD terpecah berbagai afiliasi politik. banyak perwira yang berusaha netral, terbagi dalam berbagai pandangan politik yang saling bertentangan, dan ada yang anti-Komunis maupun simpati terhadap komunisme.

  1. d.      Partai Komunis Indonesia
              Di bawah kepemimpinan Aidit, dibantu oleh empat kader lainnya (Sudisman, Njoto, Njono, MH Lukman, Sakirman), PKI mampu merekrut anggota paling banyak dalam sejarahnya. Pada 1952, setahun setelah Aidit mengambil alih kepemimpinan partai, PKI hanya memiliki anggota kurang dari 8.000 orang. Pada 1964, partai ini mengklaim memiliki 3 juta anggota. Berbagai oraganisasi yang berafilisiasi dengan PKI juga mengalami lonjakan jumlah anggota. Barisan Tani Indonesia (BTI), berkembang dari 800.000 (September 1953) menjadi 1. 500.000 pada April 1964. Pemuda Rakyat, beranggotakan 2.0000.000 orang. Sedangkan organisasi sayap perempuan, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), beranggotakan 1.750.000 orang[xi].
              Ada 2 penjelasan yang dapat digunakan untuk menerangkan pertumbuhan jumlah anggota PKI. Pertama, PKI melancarkan strategi yang radikal dan agresif sehingga menarik lebih banyak pengikut dan simpatisan dalam waktu yang singkat[xii]. Kedua, PKI mengubah taktiknya dari perjuangan bersenjata menjadi front persatuan[xiii]. Pada aras filosofis, kelihaian dan kelenturan merupakan gambaran utama ideology PKI peridode 1959-1965. Praksis ini diperlukan agar PKI dapat bertahan hidup dan mendapat kemajuan politik.[xiv]
              Pada 1954, Kongres Kelima memutuskan PKI menerapkan suatu strategi yang disebut Kerja di Kalangan Musuh (KKM), yang bisa dijelaskan sebagai berikut: Partai menerapkan strategi yang dikenal dengan singakatan MKTPB (Metode Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan)[xv]. Metode tersebut terdiri dari 3 bentuk perjuangan, yaitu (1) perang gerilya di desa-desa, khususnya oleh buruh tani dan petani miskin; (2) aksi revolusioner oleh kaum buruh, khususnya buruh transportasi di kota-kota; (3) kerja intensif di dalam angkatan bersenjata.
              PKI di bawah 5 kamerad berusaha mempribumisasikan marxisme dan komunisme. Di bawah praksis MKTPB terdapat ‘bahasa komunis’ yang dilokalkan. Daripada menggunakan cara produksi (mode of production) kapitalis untuk menjelaskan kesengsaraan rakyat, PKI memilih menggunakan konsep yang lebih sederhana mengenai 3 sebab kesengsaraan rakyat:[xvi]
  1. Para Imperialis, terutama imperialis Amerika, merupakan musuh utama rakyat progresif di seluruh dunia.
  2. Di desa-desa terdapat 7 setan, yaitu: (1) setan tuan tanah yang menolak melaksanakan ketentuan-ketentuan UUPA dan UUBH; (2) setan pejabat/penguasa yang membela kepentingan setan tuan tanah; (3) setan tengkulak yang memeras petani; (4) kapitalis birokrat/kabir yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri dengan cara mengeksploitasi petani; (5) bandit desa yang menjadi antek dan kaki tangan tuan tanah; (6) tukan ijon/ money lenders; (7) lintah darat-renternir yang menjerat kaum tani dalam hutang sepanjang hidupnya.
  3. Di kota-kota ada 3 setan kota, sipil dan militer yaitu: (1) kaum kapitalis birokrat; (2) para penggelap-penipu; (3) pejabat korup.
              Konsep tersebut jelas tidak mengukuti ajaran Marxisme Ortodoks, tetapi memikat kaum tani. Jadi, logis saja bila bangunan filosofis yang rapuh dan semu itu disapu Bersih oleh peristiwa Gestapu. Yang kemudian tersisa bukanlah massa yang militant atau kader komunis, melainkan kaum tani yang putus asa dan tidak berdaya.

Malam Para Jendral: Gerakan 30 Sepetember 1965. (G30S, Gestapu, Gestok)
Kata pertama yang didengar sebagian rakyat Indonesia, dan dunia luar, terkait peristiwa berdarah ini, berasal dari siaran radio Jakarta pada 1 Oktober 1965 jam 7.15 pagi. Pengumuman ini menyatakan hal-hal sebagai berikut:
Sebagai hasil dari “gerakan militer di tubuh angkatan bersenjata sendiri di ibu kota Jakarta yang dibantu oleh pasukan-pasukan dari cabang-cabang Angkatan Darat lainnya”, sebuah organisasi yang menamakan dirinya Gerakan 30 September yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Oentoeng (Untung), komandan battalion pengawal pribadi Sukarno, Resimen Cakrabirawa, telah menangkap sejumlah jenderal yang telah membentuk sebuah kelompok yang disebut “Dewan Jenderal”, telah berhasil menguasai sejumlah sarana penting di ibu kota, dan sudah menempatkan Presiden dan pimpinan nasional lainnya di bawah perlindungannya. Aksi ini diambil, menurut pengumuman radio tersebut, untuk mencegah rencana kudeta oleh Dewan Jenderal yang disponsori CIA dan dijadwalkan akan menggulingkan Sukarno di hari peringatan Angkatan Bersenjata 5 Oktober 1965. Pengumuman ini menjelaskan lebih jauh kalau inisiatif Jakarta akan “diikuti oleh aksi-aksi serupa di seluruh Indonesia terhadap agen-agen dan simpatisan Dewan Jenderal” dan akan mengawal pembentukkan Dewan Revolusi Indonesia yang sepenunya bertugas untuk mengemban pelaksanaan kebijakan-kebijakan pemerintah.
Secara kronologis dapat diuraikan sebagai berikut:
Pada tanggal 30 September 1965, di Lubang Buaya telah ada beberapa satuan-satuan militer. Satuan-satuan ini terdiri dari Batalyon I Resimen Pengawal Presiden Cakra Birawa, 2 peleton dari Brigif I Jaya (Brigade Infanteri I Kodam Jakarta Raya), 2 regu Brigade Para, 1 Batalyon PGT (Pasukan Gerak Tjepat-Pasukan Khusus AU), 1 Batalyon dari Yon 530 Divisi Brawijaya-Jawa Timur, Yon 545 Divisi Diponegro-Jawa Tengah.
              Letkol Oentoeng selaku komandan G30S, membagi tiga regu pasukan dengan tugas yang berbeda, yaitu Pasopati, Bimasakti, dan Priggodani. Pasukan Pasopati yang dipimpim oleh Lettu Dul Arief dan Letda Siman (Cakra Birawa), bertugas menculik hidup atau mati, para Jendral yang menjadi sasaran. Pasukan Bimasakti yang dipimpin oleh Kapten Suradi (Brigif I Jaya), bertugas menguasai obyek-obyek dan daerah vital, seperti RRI. Pasukan Ketiga dipimpin oleh Mayor (Udara) Sujono, dengan tugas mengamankan pangkalan militer di Lubang Buaya.
              Menjelang 1 Oktober 1965 subuh, kesatuan-kesatuan militer Pasopati itu langsung menuju rumah tujuh jendral pemimpin puncak Angkatan Darat (AD), yaitu Jendral A.H. Nasution, Letnan Jendral (Letjend) Achmad Jani, Mayor Jendral (Mayjend) Suprapto, Mayjend S. Parman, Mayjen Harjono M.T., Brigadir Jendral (Brigjend) D.I. Pandjaitan, dan Brigjend Sutojo Siswomihardjo. Tujuan utama mereka hanya satu: menangkap para jendral itu hidup atau mati. Kesatuan-kesatuan itu kembali dengan membawa 7 korban, tiga diantaranya telah tewas ditembak di tempat kejadian, 4 lainnya kemudian di bunuh di Lubang Buaya. Namun Jendral Nasution berhasil selamat.
              Pasukan Bimasakti, yang telah berhasil menguasai stasiun radio, Gerakan 30 Spetember mulai menyiarkan serangkaian pernyataan dan dekrit. Siaran pertama gerakan tersebut pada pukul 07.20 pagi melalui Radio Jakarta mengumumkan bahwa sejumlah Jendral telah ditangkap dan media komunikasi penting serta instalasi-instalasi vital telah dikuasai oleh Gerakan 30 September[xvii] dan mengumumkan adanya Dewan Revolusi.
              Pada pukul 02.00 siang, Dewan Revolusi mengeluarkan Dekrit No.1. Dekrit tersebut menggambarkan kerja hari itu sebagai “suatu pembersihan”, melaporkan sekali lagi bahwa “sejumlah jendral telah ditangkap”. Dekrit ini juga memberikan rincian mengenai rencana untuk mendirikan dewan-dewan Revolusi hingga ke tingkat desa. Kemudian siasat itu menambah 1 putaran politik lain: “Dengan tumbangnya seluruh kewenangan negara ke tangan Dewan Revolusi Indonesia, Kabinet Dwikora (Soekarno) secara otomatis menerima status non aktif.[xviii]
              5 menit kemudian, gerakan menyiarkan Keputusan No. 1, yakni komposisi 45 anggota Dewan Revolusi. Dua nama besar hilang: Soekarno dan Aidit.

Merah Warna Darah Kaum Merah: Pembunuhan Massal Pasca-Gestapu
Konflik berdarah yang dimulai di Jakarta, ketika para jendral diculik dan dibunuh, disusul oleh konfrontasi langsung antar 2 kelompok perwira AD dan pasukan masing-masing di Ibukota. Tetapi, setelah jeda sesaat, darah merah segera mengalir dan menggenangi tanah di seluruh di negeri. Jawa Tengah menjadi ladang pembantaian yang pertama; di provinsi ini tentara melancarkan operasi militer. Tentara yang diujungtombaki oleh Resimen Para Komando Angkata Darat (RPKAD), memburu Aidit yang melarikan diri ke Jawa Tengah dan menumpas basis PKI yang tidak siap di sana[xix]. Tentara tak hanya melancarkan operasi terhadap para pengurus PKI, melainkan juga terhadap anggota dan simpatisannya di Jawa Tengah. Pembantaian massal terhadap anggota-anggota PKI dan simpatisannya juga terjadi di Jawa Timur, Bali, sebagian Jawa Barat, berbagai daerah di Sumatera, seluruh provinsi di Kalimantan (dengan jumlah terbesar di Kalsel), sebagian Sulawesi, dan pulau-pulau luar Jawa lainnya. Angkatan Darat menuduh bahwa Partai Komunis Indonesia merupakan dalang dari Gerakan 30 Sepetmber.
              Ada banyak versi tentang perkiraan jumlah korban jiwa pembunuhan massal pasca-gestapu. (diperkirakan 78.000-2. 000.000). Setiap perkiraan jumlah korban membawa muatan politik sendiri.
              Analisis Sudisman anggota Politbiro PKI menyatakan bahwa pembunuhan tersebut adalah hasil dari:
“Perintah-perintah yang dikeluarkan oleh Jendaral Nasution yang dapat ditafsirkan sangat luas, yang kurang lebih memerintahkan untuk membasmi kaum komunis hingga ke akar-akarnya, dan harus diambil tindakan terhadap siapa pun yang dicurigai terlibat langsung maupun tidak langsung dalam Gerakan 30 September. Berdasarkan perintah-perintah inilah pembunuhan massal dilakukan. Apakah pengadilan ini juga sependapat dengan saya, bahwa Jendral Nasution harus bertanggung jawab atas pembunuhan massal ini?”[xx]

Indonesia Pasca Gestapu
              Peristiwa Gerakan 30 September 1965/Gestapu/Gestok dan pembunuhan massal yang mengikuti kemudian berujung kepada jatuh kekuasaan Soekarno dan dimulainya “Orde Baru” yang dipimpin oleh Jendral Soeharto. Orde Baru mampu berdiri tegak sampai kejatuhannya di tahun 1998.
              Sejak tragedi 1965, posisi rakyat Indonesia berubah dari Subyek menjadi Obyek, yaitu obyek dinamika sosial-politik dan ekonomi negeri sendiri. Di bawah Orde Baru rakyat dipandang tak lebih dari ‘massa mengambang’ yang hanya dibutuhkan menjelang pemilu. Jika sebelumnya rakyat Indonesia dengan kekritisannya mampu bersikap ‘melawan’ terhadap kekuatan modal yang ingin mengebawahkan hajat hidup orang banyak, setelah tragedi 1965, yang terjadi justru sebaliknya. Modal menjadi penguasa, status rakyat digesser menjadi ‘pasar’ yang perlu dimanipulasi dan dieksploitasi.
              Seiring kian derasnya modal asing masuk ke Indonesia, banyak pejabat dan pengusaha dalam negeri berganti peran menjadi ‘kolaborator’ yang taat, yang tak jarang mengorbankan kepentingan masyarakat demi kepentingan diri dan pemilik modal asing. Modal pun kian tampil sebagai tiran yang bengis dan tak kenal ampun. Ia makin jauh merangsek ke berbagai aspek kehidupan, baik ekonomi, politik, relasi sosial, agama, pendidikan, administrasi pemerintahan, dll.

Siapa Dalang di balik beristiwa Gerakan September 30?
              Sangat sulit untuk menarik kesimpulan yang pasti tentang siapa di balik peristiwa berdarah Gestapu. Berbagai posisi yang kabur dan kurangnya sumber-sumber tertulis serta saksi-saksi memunculkan berbagai spekulasi tentang dalang Peristiwa Gerakan September 30. Setidaknya terdapat lima versi sbb:
A.    PKI Sebagai Dalang
              Versi ini merupakan sejarah resmi bentukan Orde Baru. Menurut versi ini, PKI lah dalang Gestapu. Ada beberapa buku resmi terbitan rezim Orba, setidaknya ada 3 “Karya Standar” yaitu: Nugroho Notosutanto dan Ismail Shaleh, The Coup Attempt of the September 30 Movement in Indonesia; Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, Gerakan 30 September PKI; Sekretariat Negara Republik Indonesia, Gerakan 30 September PKI: Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya.
B.     Masalah Internal Angkatan Darat
              Versi kedua meyebutkan bahwa Gestapu adalah merupakan masalah internal AD. ada beberapa fakta kunci yang dijadikan rujukan. Pertama, dan yang terpenting, mereka yang diculik dan para penculiknya adalah personel AD. Kedua, tidak masuk akal apabila PKI berjudi dengan menyingkirkan para jendral melalui jalan kekerasan, sementara partai tersebut menikmati perkembangan dan kekuasaan yang meguntungkan. Pendukung utama versi ini adalah Cornell Paper karya Ben Anderson.
C.     Soekarno yang Bertanggung Jawab
              Anthony Dake dalam bukunya In the Spirit of the Red Banteng menyatakan:
              Seokarno sendirilah yang memprakarsai ‘kudeta Untung’ dengan harapan ia dapat mempertahankan kekuatan kontrolnya, tukang sulap yang dapat menyulap hantu-hantu yang diciptakannya… Tetapi hal ini menjadi awal kiamatnya, dan di dalam keangkuhan egonya ia terserang kebutaan yang tidak hanya menghancurkan dirinya sendiri tetapi juga hampir menjerumuskan negaranya ke dalam jurang keruntuhan.
              Termasuk berdasarkan laporam interograsi terhadap Kolonel Bambang Widjanarko, Ajudan Soekarno, yang mengatakan Soekarno sendiri yang menyusun scenario Gestapu.
D.    Soeharto di Balik Gestapu
              Versi ini percaya bahwa Soeharto adalah dalang Gestapu. Ada beberapa fakta yang mencurigakan. Sebagai Panglima Kostrad dan jendral yang biasa mewakili Panglima AD bila yang disebut terakhir pergi ke luar negeri, Soeharto adalah jendral paling penting yang tidak tercantum dalam daftar nama yang harus diculik.
              W.F. Wertheim, mengatakan bahwa Soeharto mungkin memang telah bersekutu dengan komplotan tersebut. Soeharto tampaknya tidak puas, sebab pemimpin AD gagal memenuhi tantangan komunis dan memanfaatkan Gestapu sebagai sarana untuk melibatkan PKI dalam suatu aksi yang dapat menjadi dalih AD untuk melawan partai tersebut. Sjam yang merupakan anggota Biro Khusus PKI, mungkin adalah agen Soeharto yang menyusup ke tubuh PKI ketimbang orang PKI yang menjadi informan AD.[xxi]
              Wertheim menunjukkan bahwa Soeharto memiliki hubungan dengan semua perwira AD yang terlibat Gestapu. Sebagai Mantan Panglima Divisi Diponegoro, Soeharto tentu dikenal baik oleh para pembangkang di Jawa Tengah, dan ada 3 perwira kunci AD di Jakarta, yaitu: Oentoeng, Latief, dan Supardjo.
E.     Jaringan Intelijen dan CIA
              Versi ini menyatakan, jarigan intelejen AD sendirilah yang memprakarsai Gestapu, baik atas usaha sendiri maupun agen-agen intelijen asing, khususnya Amerika dan China. Dengan menggunakan transkrip persidangan Njono dan Oentoeng, Coen Holtzappel, yang mengembangkan mahzab ini, menyimpulkan PKI, maupun Aidit, tidak pernah membuat perjanjian politik apapun dengann gerakan tersebut atau dengan anggota dan pemimpin gerakan.[xxii]


[i] Lihat Lev, Daniel. The Transition to Guided Democracy: Indonesian Politics, 1957-1959. Cornell University Press. Ithaca, New York. 1977.
[ii] Crouch, Harold. The Army and Politics in Indonesia. Cornell University Press. Ithaca, New York. 1988. Hal; 45-51.
[iii] Lihat Feith, Herbeth. The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Cornell University Press. Ithaca, New York. 1962.
[iv] Lihat, Leifer, Michael. Indonesian Foreign Policy. Allen & Unwin. London. 1983.
[v] Lagerberg, Kees. West Irian and Jakarta Imperialism. St. Martin’s Press. New York. 1978.
[vi] Weinstein, Franklin B. Indonesia Foreign Policy and the Dilemma of Dependence: From Sukarno to Suharto. Cornell University Press. Ithaca, New York. 1976.
[vii] New York Times (NYT) 18-01-65.
[viii] Kelompok ini belakangan populer dikenal sebagai “Mafia Berkeley”. BIES (Bulletin of the Indonesian Economic Studies). 1993.
[ix] Tentang pembentukan awal ABRI atau TNI, lihat Said, Salim. Genesis of Power: General Sudirman and the Indonesian Military in Politics., 1945-1949. Institute of Southeast Asian Studies. Singapore. 1991. Untuk periode selanjutnya, lihat Sundhaussen, Ulf. The Road to Power: Indonesian Military Politics, 1945-1967. Oxford University Press. Kuala Lumpur. 1982.
[x] Nasution, A.H. Ketetapan MPRS. Tonggak Konstitusionil Orde Baru. C.V. Pantjuran Tujuh. Jakarta. 1966. Hal 73-74.
[xi] Palmier, Leslie H. The Communist in Indonesia. Zed Books. London. 1973. Hal; 234.
[xii] Pauker, Guy J. The Rise and Fall of the Communist Party of Indonesia, dalam The Communist Revolution in Asia: Tactics, Goals, and Achievements. Prentice Hall. New Jersey. 1969. Hal; 284-287.
[xiii] Lihat Hindley, Donald. The Communist Party of Indonesia., 1951-1963. University of California Press. Berkeley. 1964.
[xiv] Mortimer, Rex. Indonesia Communism under Sukarno: Ideology and Politic, 1959-1965. Cornell University Press. Ithaca, New York. 1974. Hal; 400.
[xv] Aidit, D. N. Masjarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia. Sudisman, Tegakkan PKI jang Marxis Leninis untuk Memimpin Revolusi Demokrasi Rakjat Indonesia (Otokritik Politbiro CC PKI). www.indomarxits.com
[xvi] Sudisman. Analysis of Responbility: Defense Speech of General Secretary of the Indonesian Communist Party at his Trial before the Special Military Tribunal.-Uraian Tanggung Jawab: Pledoi Sudisman Sekjend PKI di depan Mahmilub. Jakarta 21 Juli 1967. www.indomarxist.com.
[xvii] Harian Rakyat, 2 Oktober 1965.
[xviii] Brackman, Arnold C. Communist Colaps in Indonesia. elstReba. Yogyakarta. 2000. Hal; 50.
[xix] Lihat McDonald, Hamish. Soeharto’s Indonesia. University Press of Hawaii. Honolulu. 1980. Hal;81-82.
[xx] Sudisman. Ibid.
[xxi] Wertheim, W.F. Soeharto and the Untung Coup-the Missing Link. Journal of Contemporary Asia. 1970. Hal 52.
[xxii] Holtzappel, Coen. Kudeta Straatsgreep in Djakarta. Bompaperback. 1968