Rabu, 07 Juli 2010

Pembangunan Politik Indonesia

PENDAHULUAN
Reformasi politik dalam pembangunan politik Indonesia yang dimulai tahun 1998 oleh pergerakan mahasiswa yang merata di seluruh Indonesia, adalah sebuah proses demokratisasi. Ditandai dengan jatuhnya rezim otoriterian Orde Baru pada Mei 21st 1998 yang berjubah Demokrasi Pancasila membuka pintu bagi episode politik baru Indonesia.

Perubahan politik pasca reformasi mengulas dinamika politik transisi yang penuh kejutan. Gambaran dan fenomena reformasi terlihat jelas pada masa pancaroba dengan pergiliran dialetis dan konsesus, kompetisi dan kongsi.

Dalam banyak kesempatan sering kita temui tulisan, artikel dan sumber-sumber yang menyediakan cakrawala yang terukur untuk menilai maqam demokrasi Indonesia. Demokratisasi yang bukan saja menghajatkan peremajaan struktur politik modern, tetapi juga menyediakan basis kebudayaan yang matang kepada Produser dan aktor politik seperti partai politik, elite politik, masyarakat sipil, koalisi, oposisi, pemilu. Dan kemudian membuka pemikiran kita untuk membutuhkan penyegaran gerakan besar dan konsisten untuk menggerakan proses dan roda demokratisasi.

Menurut Anas Urbaningrum (2004), Tahapan pembangunan politik pasca reformasi di Indonesia, diibaratkan adalah proses konsolidasi pernikahan Indonesia dengan demokrasi. Sekarang ini Indonesia masih setia pada masa transisi, dengan segenap faktor yang membuat gerak maju-mundur. Inilah yang disebut dengan masa pacaran yang berujung lamaran . Artinya, Indonesia pada masa pasca reformasi baru sampai pada tahapan melamar demokrasi, belum menikahi demokrasi itu sendiri.

Dalam tugas ini, diberikan 2 pertanyaan dan 1 strategi mengatasi laju perubahan politik indonesia, yaitu:
1. Bagaimana pola perubahan politik Indonesia pasca reformasi…????
2. Bagaimana laju perubahan politik Indonesia, dilihat dari unsur struktur, kultur dan kepemimpinan…..????


KERANGKA TEORI dan PEMBAHASAN
BAB I
Bagaimana pola perubahan politik Indonesia pasca reformasi…???

Pola perubahan politik pasca reformasi tahun 1998, berlangsung sangat revolusioner. Hal ini pun ditandai dengan jatuhnya Orde Baru yang telah bertahan selama 32 tahun dan dilator belakangi oleh militer, birokrat dan golongan karya.

Kita pun persis ingat bahwa salah satu musuh utama gerakan reformasi yang dirintis para intelektual kritis dan diimplimentasikan para mahasiswa adalah pemerintahan yang korup, menyelewengan wewenang dan kekuasaan-nya, baik secara politik, ekonomi, hokum maupun budaya. Gelombang reformasi dengan segala perubahan dan pembangunan politik yang ada sudah pasti bukan sekedar ingin mengubur para tiran, koruptor, penindas dan para pendosa di masa silam tapi Gerakan reformasi jauh lebih serius dan terhormat dari sekedar bicara simbol, orang ataupun struktur .

Kita sudah mempunyai sejarah kelam, betapa pergantian rezim Soekarno oleh rezim Soeharto hanya sekedar ganti jubah dan kemasan simbolik. Cita-cita Orde Baru untuk mengoreksi segenap kesalahan Orde Lama ternyata sekedar menghasilkan repetisi historis. Akibatnya telah sama-sama kita rasakan. Bahkan rakyat yang tak berdosa sekalipun dipaksa situasi untuk memanggul beban kesalahan itu.

Memerhatikan pengalaman sejarah yang buram itu, saatnya sekarang kita melihat kasus-kasus dalam pembangunan politik di era reformasi sebagai hasil yang serius. Jika tidak reformasi akan sekedar menjadi jubah pelindung bagi perilaku-perilaku lama yang dilakukan oleh orang-orang baru. Semakin banyak perilaku kontra reformasi dibiarkan akan menjadi kebiasaan dan akhirnya diterima sebagai sebuah kelaziman atau lebih berbahaya jika kemudian dianggap sebagai reformasi yang sesungguhnya.

Suasana gerak reformasi haruslah mampu menciptakan iklim yang kondusif dalam proses dialetika tentang pembangunan politik dan tatanan bangsa yang kita cita-citakan. Pada masa reformasi inipun kita cepat dalam pembenahan negeri dan disadari oleh hampir semua lapisan bangsa, mengoganizir kembali sebagai bangsa yang besar dan santun, kosmopolit dan tidak kehilangan akar kultural, bhineka dan integratif, bebas dan produktif, serta responsif dan emansipatif . Unsur-unsur persamaan, perbedaan dan kapasitas/kemampuan dalam pembangunan politik disinergikan sebagai semangat reformasi. Hal ini ditandai dengan menigkatnya partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan umum yang diadakan 7 juni 1999, seperti tabel dibawah ini.

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMILIHAN UMUM
Tahun Pemilihan Penduduk Pemilih Terdaftar Voter % Voter
1955 77,9 jt 43,1 jt 39,4 jt 91
1971 114 jt 58,6 jt 58,2 jt 99
1977 128 jt 70,4 jt 68 jt 97
1982 146,5 jt 82,1 jt 78,2 jt 95
1987 162,9 jt 94 jt 90,4 jt 96
1992 177,6 jt 107 jt 102,3 jt 95
1997 196,3 jt 124,7 jt 117,5 jt 94
1999 109,4 jt 118,2 jt 116,3 jt 98,4

Secara persentase, partisipasi ini sangatlah terwujud dari rakyat dan hal inilah yang menandakan bahwa masyarakat menginginkan sebuah revolusi, perbaikan dan hal-hal yang disebut dengan metode atau teori modernisasi pembangunan politik .

Modernisasi politik terjadi dikarenakan sebuah perubahan yang membuahkan frustasi politik dan proses sosial yang mengakut dalam tuntutan politik dan partisipasi yang dimana akan melahirkan pelembagaan baru. Hal lebih lanjut tentang struktural dan pelembagaan politik nanti akan di jelaskan pada Bab II
Dapat digambarkan dengan teori Samuel P.Huntington bahwa reformasi dan pasca reformasi dan fenomena-fenomenanya, adalah wujud dari frustasi sosial. Keabsahan legitimasi Soeharto pada sidang umum 11 maret 1997, dan pengangkatan B.J Habibie dan terpilihnya Abdurrahman Wahid menjadi presiden ke IV indonesia (meskipun PDI-P mendapatkan suara terbanyak), dan juga krisis ekonomi yang tidak kunjung membaik menciptakan mobilitas sosial dan menghasilkan partisipasi politik yang tinggi dari rakyat. Dan pasca reformasi-pun dijadikan ajang bergaining position bagi semua elemen rakyat dalam pelembagaan dan penghindaran dari gonjongan politik srta merta untuk stabilisasi.

BAB II
Bagaimana laju perubahan politik Indonesia dari unsur struktur, kultur dan kepemimpinan...???
Tumbangnya Orde Baru membuka peluang terjadinya reformasi politik dan demokratisasi di Indonesia. Pengalaman Orde Baru mengajarkan kepada bangsa Indonesia bahwa pelanggaran terhadap demokrasi membawa kehancuran bagi negara dan penderitaan rakyat. Oleh karena bangsa indonesia bersepakat untuk sekali lagi melakukan demokratisasi, yakni proses pendemokratisasian sistem politik Indonesia sehingga kebebasan rakyat dapat ditegakkaan, dan pengawasan terhadap lembaga eksekutif dapat dilakukan oleh lembaga wakil rakyat.

#Perubahan laju politik Indonesia dari unsur struktur
Presiden Habibie yang dilantik sebagai presiden menggantikan Soeharto dapat dianggap sebagai presiden yang memulai langkah-langkah demokratisasi dalam masa reformasi. Dan langkah-langkah yang dilakukannya adalah mempersiapkan pemilu dan melakukan langkah-langkah penting dalan pasca reformasi. UU Politik yang meliputi UU partai politik, UU pemilu dan UU Sususan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. UU Politik ini jauh lebih demokratis dari yang sebelumnya sehingga pemilu 1999 menjadi pemilu yang demokratis yang diakui oleh dunia internasional . Pada masa inipun juga tidak kalah penting adalah penhapusan Dwifungsi ABRI, sehingga fungsi sosial-politik ABRI pun dihilangkan. Fungsi pertahanan menjai satu-satunya fungsi yang dimiliki ABRI semenjak adanya demokratisasi internal tersebut.

Langkah terobosan yang dilakukan dalam masa reformasi adalah amandemen UUD 1945 yang dialkukan MPR hasil pemilu 1999 dalam empat tahap. Beberapa perubahan yang penting dilakukan adalah UUD ’45 mampu menghasilkan pemerintahan yang demokratis. Peranan DPR sebagai legislatif diperkuat, semua anggota DPR dipilih dalam pemilu, pengawasan terhadap presiden lebih diperketat, dan hak asasi manusia mendapat jaminan yang semikin kuat. Amandemen UUD 1945 juga memperkenalkan pemilihan umum untuk presiden dan wakil presiden secara langsung.

Dalam sisi legislatif, DPR hasil pemilu 1999 telah berhasil melakukan amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali pada tahun 1999, 2000, 2001, 2002. meskipun hasil amandemen tersebut masih belum ideal, namun adabeberapa perubahan yang penting terjadi. Salah satunya adalah dibentuknya Dewan Perwakilan Daerah (DPD), lahirnya sistem pemilihan presiden secra langsung dan lahirnya Mahkamah Konstistusi dan lain-lainya. Selain itu legislatif ahsil pemilu 199 ini juga dikenal produkstif dengan mengesahkan 175 RUU menjadi UU.

DPR hasil pemilu 1999 menghasilkan tujuh partai besar yaitu, PDIP-153 kursi, Golkar-50 kursi, PPP-58 kursi, PKB-51 kursi, PAN-34 kursi, PK-7 kursi, dan PBB-13 kursi dan partai lainnya 26 kursi. Dengan total 462 kursi dari partai hasil pemilu dan anggota lainnya dipilih dari TNI/POLRI yang diangkat sehingga total seluruh anggota DPR 1999 adalah 500 anggota . Pada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), menurut UU no.4/1999, total anggotanya berjumlah 700 orang yang terdiri atas anggota DPR 500 orang, utusan daerah 135 orang dan utusan golongan berjumlah 65 orang.

Amandemen UU 1945 mengubah secra substantif, tugas, wewenag dan fungsi dari MPR. Dan hasil amandemen ini mendenifisikan MPR adalh gabungan dari DPR dan DPD. Diantara perubahan struktur dari efek domino reformasi dalam MPR, melalui Amandemen adalah :
1. Mengubah dan menetapkan UUD
2. Melantik presiden dan wakil presiden hasil pemilihan umum
3. Memutuskan usul DPR berdasarkan kepeutusan Mahkamah Konstitusi untuk memberhentikan presiden/wakil presiden dalam masa jabatannya.
4. Melantik wakil presiden menjadi apabila presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajiban dalam masa jabatannya.
5. Memilih wakil presiden dari dua calon yang diajukan presdin apabila terjadi kekosongan jabatan wakil presiden dalam masa jabatanya.
6. memilih presiden dan wakil presiden apabila keduanya berhenti secra bersamaan dalam masa jabatannya.
MPR juga tidak lagi berhak menetapkan kewenangan untuk GBHN. MPR juga tidak mengeluarkan Tap MPR kecualiyang menetapkan wapres menjadi presiden dan memilih wapres bila presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya. Dalam amanden inipun status MPR bukanlah lagi sebagai lembaga tertinggi negara, namun setara dengan DPR, DPD, BPK dan lain-lain .

Yang lain adalah dalam sisi Yudikatif pasca reformasi. Kekuasaan kehakiman di Indonesia banyak mengalami perubahan sesuai dengn Amndemen ketiga UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 10 november tahun 2001, mengenai Bab kekuasaan Kehakiman (BAB IX) memuat beberapa perubahan (pasal 24A, 24B, 24C). Amandemen tersebut mengebutkan penyelenggara kekuasaan kehakiman terdiri atas Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah agung bertugas untuk meguji peratutran perundangan dibawah UU terhadap UU. Sedangkan Mahkamah konstitusi mempunyai kewenangan menguji UU terhadap UUD 45.
Menurut Miriam Budihardjo , Mahkamah Konstitusi (MK) pada tingkat pertama dan terakhir yang keputusannya bersifat final untuk, judical review, sengketa lembaga negara, pemburan partai politik dan memutuskan perselisihan pemilihan umum. Selanjutnya, memberikan keputusan pemakzulan (impeachment) presiden/wapres atas usulan DPR karena pengkhianatan terhadap negar, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat atau perbuatan tercela. Anggota dari mahkamh konstitusi tidak merangkap jabatan sebgi pejabat negara.

Mahkamah Agung (MA) berwenang mengadili dsampai tingkat kasasi. Mahkamah Agung menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang (pasal 24A). Calon hakim aung diajukan oleh Komisi Yudisial kepada DPR untuk memdapatkan persetujuan, dan ditetapkan sebagai hakim agung oleh presiden. Ketua dan wakil ketua MA dipilih dari dan oleh haim agung.

Sementara itu Komisi Yudisial (KY) adalah suatu lembaga yang bebas dan mandiri, yang berwewang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan berwenang dalam rngk menegakkan kehormatan dan perilaku hakim. Anggota KY diangkat dan diberjentikan presiden dengan persetujuan DPR (pasal 24B).

Memang harus diakui bahwa meski perjalan reformasi di indonesia yang berguir sejak mei 1998 tak semudah yang direncanakan, namun dalam bidang hukum ada banyak upaya untuk memperbaikinya dengan tujuan untuk menegakkan supremasi hukum dan modernnisasi hukum. Salah satunya membentuk lembaga negara yang baru, dan dibentuk dalam komisi-komisi negara.
Diantaranya adalah :
A. Komisi Hukum Nasional (KHN), adalah untuk mewujudkan sistem hukum nasional demi menegakan supremasi hukum dan hak asasi manusia berdasarkan keadilan dan kebenaran dengan melakukan pengkajian masalah-masalah hukum serta penyusunan rencana pembaharuan dibidang hukum secara objektif dengan melibatkn unsur0unsur dalam masyarakat .
B. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pembentukan KPK adalah merupakan respons pemerintah terhadap rasa pesimistis masyarakat terhadap kinerja dan reputasi kejaksaan maupun kepolisian dalam hal pemberantasn korupsi .
C. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) adalah komisi yang dibentuk pemerintah sebagai respon pemerintah terhadap persoalan kekerasan dan perlindungan kepada perempuan dan sebagia upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan .
D. Komisi Ombudsman Nasional (KON) adalah lembaga yang berperan sebagai instasi yang menjamin pelayanan birokrasi kepada masyarakat atau membantu pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme dan meninkatkan perlindungan hak-hak masyarakat agar memperoleh pelayanan umum, keadilan dan kesejahteraan secara lebih baik .

Namun, masih banyak yang akan lahir dan harus dilakukan segera dalam masa pasca reformasi secara umum dan dalam perihal sisi yudikatif. Beberapa masalah yang muncul dan tidak atau belum diatur dengan jelas adalah belum adanya peradilan yang faktual seperti pengadilan niaga,pengadilan ad hoc HAM, pengadilan lingkungan, pengadilan pertahanan, pengadilan perburuhan, pengadilan pajak, pengadilan syariah, dan pengadilan adat; Apakah peradilan itu dimasukan kedalam salah satu lingkungan saja, atau didiskualifikasi sebagai peradilan khusus?

#Perubahan laju politik Indonesia dari unsur kultur
Secara politik partisipatif masyarakat, ada kultur atau fenomena baru tentang jawa dan luar jawa. Pada pasca reformasi disaat BJ Habibie menjadi presiden, seakan menjadi hal yang dibanggakan oleh rakyat luar jawa, khususnya masyarakat sulawesi. Dan saat Abdurrahman Wahid menjadi presiden maka, terjadilah dilema pada rakyat. Pasalnya, presiden yang terpilih dengan kecenderungan jawa tentu akan mengalami problem legitimasi di wilayah luar jawa. Menurut Anas Urbaningrum , kadar dan integritas legitimasi politik yang timpang akan berpengaruh buruk pada kinerja pemerintahan dan bisa menjadi ancaman integrasi nasional.

Yang lebih mencolok adalah adanya hambatan-hambatan dikarenakan segi kultur pada pasca reformasi dalam pencapaian masyarakat yang madani dan menuju perubahan yang signifiakan dari segala sisi, Menurut Anas ada empat fakta penghalang, bagi mulusnya semangat reformasi yang di pelopori mahasiswa 1998, yaitu;

Pertama, munculnya tokoh-tokoh lama dan mantan pejabat yang disaat pasca reformasi lebih berada di depan. Bola reformasi, pasca jatuhnya Soeharto, lebih dimainkan oleh orang-orang lama yang mentalistasnya belum reformasi. Orang-orang ini sesungguhnya adalah para mntan pejabat yang mencoba mebersihkan dirinyadari lumpur noda Orde Baru dan berharap akan mendapatkan citra baru dimata masyarakat. Meskipun mereka juga punya hak untuk memperbaiki diri, tetapi ketika bola panas reformasi sukar diprediksi. Apalagi reformasi telah direduksi menjadi kepentingan-kepentingan yang personal atau kelompoknya, tentu hal ini sangatlah berbahaya.

Kedua, munculnya polariasi kekuatan reformasi atas tendensi-tendensi politik, dan bahkan idealogispasaca kejatuhan Soeharto , sekap kekuatan-kekuatan reformis terhadap pemerintahan Habibie sangat beragam. Ada yang radikal mendukung , memberi kesempatan sebagai pemerintahan transisi, dan ada juga yang seacra radikal menolak.bagi kalangan pesimistis, Habibie divonis sebagai reinkarnasi Soeharto. Selama dua titik ekstream itu dominan, maka polarisasi itu akan swemakin tajam, dan secara otomatis memperlemah kekuatan dan daya dorong reformasi. Polarisasi ini akan semakin sukar ditemukan pada dimensi-dimensi yang memaknai secara ideologis.

Ketiga, pasca reformasi fragmentasi sosial dan politik mengalami intensistas yang sangat dramatis. Ada gejala pulang kandanga atau fenomena kembalinya para aktor sosial dan politik pada habitat mereka yang lama. Hal ini lazim semata, dan secara alamiah sangat wajar. Gejala pulang kandang adalah reaksi psikologis dari pekatnya prose penyeragaman yang selama lebih dari 30 tahun Orde Baru berlangsung. Penyeragaman yang tidak pernah tuntas itu menjadikan rapuhnya kohesi sosial. Pertarungan antar kelompok, tuntutan referendum mahasiswa asal Timor Timur dan sebagainya, kalau tidak terkendali akan mengancan integrasi nasional, sesuatu yang diluar agenda reformasi.

Keempat, berbagai kekuatan yang tersingir oleh proses reformasi tentu akan brusaha keras untuk tampil dengan gaya baru dengan selimut reformasi pula. Yang akan kembali itu bukan fisiknya, tetapi kekuatan dan kepentingannya. Kemungkinan inicukup terbuka, karena kalau mereka berhasil melakukan konsolidasi akan menjadi kekuatan yang besar. Apalagi mereka menguasai sumber dana dan logistik yang sangat besar. Belum lagi dengan keterampilan dan kecanggihan dalam permaianan politik, sehingga secara halus dan sistematis. Salah satu contonya adalah Munaslub partai Golkar, juli 1998. yang diman Golkar adalah Golongan yang menjadi partai dan mencoba untuk mereformai internal dan mencoba untuk menopengkan diri sebagai partai reformis.

Pada masa reformasi juga banyak terjadi kasus makar dan konflik kultural antar etnik dan budaya, seperti kerusuhan ambon dan poso yang berlatar agama, kerusuhan sampit yang berlatarkan suku bangsa. Atau pergerakan-pergerakan ekstream yang menuntut adanya kemerdekaan seperti Republik Maluku selatan (RMS), Gerakan Aceh Merdeka (GAM), dan Papua Merdeka. Dan yang jelas lepas dengan referendum adalah provinsi ke 27 indonesia- Timor Timur (1999).

#Perubahan laju politik Indonesia dari unsur kepemimpinan
Pada masa pasca reformasi banyak stigma tentang adanya krisis kepemimpinan di indonesia. Setelah runtuhnya paham “bapakisme” Soeharto, banyak rakyat mulai meragukan legitimasi Habibie dan Abdurrahman Wahid. Ada nama besar setelah reformasi yaitu Amien Rais dan Megawati Soekarno Putri, namun kedua masih tidak dapat kepercayan masyarakat secra aristokrasi. Hal yang tersulit saat pasca reformasi ini dan paling krusial adalah masalah kepemimpinan setelah Soeharto, hal ini juga bisa dikatakan adalah kesalah kita bersama yang diam saja selama 32 tahun dan tidak melakukan proses transisi yang baik.
Mengapa hal ini bisa terjadi???? Beberapa faktor penyebab dari adanya krisis tersebut dijabarkan dengan dua point oleh Anas Urbaningrum, sebagai berikut :

Pertama, Selama ini bangsa kita tidak mempunyai pemimpin. Bangsa ini banyak melahirkan pemimpim-pemimpin yang bersifat layaknya penguasa. Dimana-mana seorang penguasa akan lebih banyak melakukan pemanfaatan waktunya bagi kelestarian kekuasannya. Kebijakan-kebijakn yang dikeluarkan selalu bersangkutan dengan harta dan kuasa yang palingmenopang. Jika demikian, waktu untuk memikirkan masyarakat sudah pasti menjadi sempit. Kalaupun kepentingan rakyat tersentuh, pasti hany dipinggir-pinggir sajadan tentu bertujuan untuk kemasan semata.

Kedua, negara ini lahir dan berkembang diatas landasan kebangsaan yang masih kuat menyisakan tradisi lama feodalisme . Negara ini memang modern dengan wajah republik, tetapi didalammnya adalah tradisi kerajaan yng sengaja dipertahnkn oleh penguasa. Struktur kebudayaan lama tersebut memang paling relevan bagi status quo. Dalam pelestrian itu, birokrasi yang disistimatiskan terutama oleh rezim Soeharto menjadi agen negara fasih untuk mempraktekan patronase absolut. Bahkan, secara struktural hal itu menjadi jringn yang efektif bagi proses penegaraan semua dimensi kehidupan.

Bila kia melihat lagi secara sepintas melaui fenomena yang ada, ada dua presiden yaitu BJ Habibie dan Abdurrahman Wahid-Gusdur. Dan memikili langkah yang besar dalam masa pasca reformasi. Pada masa Habibie, kepemimpinannya yang paling fenomenal adalah melakukan referendum terhadap timor-timur hingga lepasnya provinsi termuda indonesia tersebut, hal ini dilakukan oleh Habibie adalah semata untuk presiden yang akan datang tidak repot lagi mengurus provinsi yang hnya ditetapkan oleh TAP MPR, nmun tidak diakui oleh dunia internasional . Hal lain yang terjadi pada masa kepemimpinan yang hanya 200 hari lebih tersebut adalah ditolaknya pidato pertanggung jawaban dari Habibie, namun Habibie berhasil melakukan pemilu tahun 1999 yang maknai sebagai pemilu paling jujur dan adil dibandingkan dengan yang sebelum-sebelumnya.

Sementara itu, Gusdur lebih fenomenal. Kepemimpinan itu menjadi sangat enteng oleh Gusdur dan lebih mementingkan keputusan presiden dengan maklumat. Maklumat yang paling kontrofersial adalah pembubaran DPR hasil pemilu 1999 yang dimana dipilih secara demokratis. Hal ini juga menciptakan pemakzulan atau impeachment terhadap masa jabatan dari Abdurrahman Wahid-Gusdur.

Pada masa pasca reformasi tersebut juga adanya kekurangan rasa hormat kepada pemimpin. Demokrasi di indonesia agaknya kurang sesuai jika dibangun tanpa rasa hormat kepada pemimpin. Rasa hormat yang diterjemahkan secara lebih dalam, ketimbang negara-negara dengan budaya barat. Namun demikian, rasa hormat sebagai bagi demokrasi ketimuran tidak dinikmati oleh para elite sebagai ungkapan loyalitas yang tidak berujung. Justru dibutuhkan para pemimpin yang menempatkan rasa hormat sebagai jalan terbuka bagi pelaksanan kebijakan secara lebih efektif, dan juga dibayar dengan keteladanna yang memadai.

BAB II
Bagaimana strategi mengatasi laju perubahan politik di indonesia...???
Menurut saya, strategi yang pantas dalam mengatasi laju perubahan politik di iondonesia adalah datang dari diri personal rakyat itu sendiri, dengan memakai jiwa seorang kenegarawanan. Menurut Susilo Bambang Yudhoyno dalam sebuah wawancara di salah satu televisi yang mengajak masyarakat menempatkankan Soekarno dan Soeharto sebagai bagian masa lalu. Hemat saya, masa lalu itulah yang mesti kita jadikan cermin secara kritis, dan bukan untuk dihujat-hujat, lebih baik gunakan kritikan karena kita adalah insan kenegarawanan.

Menurut Anas Urbaningrum , Sebaiknya kita mengkritik masa lalu untuk dijadikan hikmah berbeda dengan menghujat-hujat. Mengkritik didasari oleh kejernihan intelektual dan cara pandang futuristik, sementara menghujat lebih berdasarkan logika marah dan dendam, serta terlalu diserimpung masa silam. Menurut saya, Sikap negarawan (statesmanship) adalah yang dadanya terbuka dan toleran, dan memiliki lentera masa depan bagi bangsanya. Sikap kenegarawanan itu mahal dan semahal pun itu, demi masa depan bangsa akan terasa ringan bila kita berlakukan secara bersama.

Saya sepakat reformasi politik dan laju perubahan atau pembangunan politik dilaksanakan secra gradual, tetapi harus didorong secra akseleratif. Artinya, totalitas dalam pembangunan politik itu musti dijalankan secara secara terukur. Dorongan idealisme harus ditentukan dengan realitas yang objektif, kalau dua faktor diatas tidak bisa ditemukan maka tekanan idealisme akan menjadi kuat. Kemudian kita akan dapat membayangkan hal yang akan terjadi proses menuju sampyuh .

Menurut Anas Urbaningrum , Agenda-agenda menuju konsolidasi demokrasi tersebut dapat dikerucutkan dalam delapan isu-isu pokok yang menurut saya adalah langkah konkret dalam merumuskan strategi dalam mengatasi laju pertuimbuhan politik di Indonesia. Hal-hal tersebut adalah:
1. Pembangunan sistem kepartaian yang mampu mendorong tumbuhnya partai-partai politik yang sehat dan fungsional
2. Penyelenggaraan pemilu yang demokratis, baik dalam pemilihan wakil rakyat diparleman mapun memilih pejabat eksekutif, baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat lokal.
3. Mempertegas dan memperjelas hubungan antra sipil dan militer yang sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi.
4. Melahirkan proyek otonomi daerah yang produktif dan adil dan bukan membuat raja-raja kecil tiap-tiap daerah
5. Kebebasan pers yang berkualitas dan produktif.
6. Pembangunan masyarakat yang semakin berdaya, bertenaga dan mampu menjadikan kekuatan banding atu kekuatan kontrol terhadap negara
7. Pengembangan perilaku kepemimpinan pada berbagai tingkatan pemerintahan, yang terbuka, toleran, bermoral, taat hukum dan patuh pada konstitusi.
8. Pembangunan ekonomi yang benar-benar memperhatikan prinsip-prinsip keadilan.

Demokrasi dapat kita istilah sebagai berikut: kalau kita naik bus AKAP-antar kota antar provinsi, jurusan Padang-Pekanbaru, kita tidak akan hiraukan siapa supirnya (legitimasi), bahkan keinginan berkenalapun tidak terbesit oleh kita. Tetapi kita percaya bahwa 8 jam lagi kita akan sampai di terminal di Pekanbaru (predictable). Berangkat jam 8pagi tiba jam 4 sore Berhenti di Padang panjang-Payakumbuh untuk transit dan istirahat (sistemik-institusional). Semua penumpang membeli tiket yang sama dan harga yang sama dan adanya membeda-bedakan penumpang (egaliter). Sang sopir tidak boleh membawa keluarganya jika tidak beli tiket (anti nepotisme). Jatah snack bagi penumpang juga sama (adil).

Inilah gambaran politik dimasa depan, dimana kepemimpina yang dail berjalan secra institusional; mekanisme politik jelas, tegas dan kokoh; kontruksi budaya politik yang egaliter, partisipatriotis dan emansipatif; struktur politik yang tegak diatas nilai demokrasi yang matang dan akan mendapatkan legitimasi objektif dari rakyat.